Minggu, 22 April 2012

Moral Exclusion dan Rokok

Terlalu Permisif

Masyarakat Indonesia sangat permisif dalam masalah merokok, meskipun telah memiliki Pasal 24 PP no.81/ 1999 yang menyatakan bahwa pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok, dan Peraturan Pemerintah no.38 th.2000 yang menyatakan bahwa rokok tidak boleh diiklankan di media elektronik antara pukul 05.00-21.30 WIB, (Kompas,2001).

Seorang konsultan WHO dan Australia, Dr. Matthew Allen, pada bulan April 2001 menyatakan bahwa tingginya tingkat rokok dan penerimaan terhadap rokok pasif merupakan hambatan utama dan pertama bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia. Allen menyatakan terdapat 7 (tujuh) hambatan bagi penanggulangan masalah rokok di Indonesia, yaitu;

1. Tidak adanya pengetahuan di kalangan perokok tentang resiko merokok

2. Tidak cukupnya pengetahuan badan-badan pemerintah dan LSM, yaitu pengendalian rokok bagi kesehatan dan perekonomian, serta taktik-taktik menyesatkan yang dipakai oleh industri rokok

3. Tidak adanya komitmen oleh para politisi dan departemen pemerintah

4. Adanya kerancuan wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial

5. Kuatnya sektor industri rokok

6. Desentralisasi dan tidak adanya kerangka kerja di daerah untuk mengimplementasikan perangkat pengendalian rokok

7. Tak ada dana untuk membuat kampanye tandingan dan program pengendalian lainnya. (Kompas, 2001)

Melihat perkembangan kebiasaan merokok Indonesia yang semakin lama semakin parah, nampaknya harapan untuk menanggulangi masalah ini semakin tipis, namun sebenarnya hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan karena beberapa negara telah menerapkan aturan cukup keras baik bagi para perokok maupun industri rokok. Singapura menerapkan ruang publik sebagai kawasan bebas rokok, mesin penjual rokok dinyatakan ilegal dan melarang perusahaan rokok menjadi sponsor even publik (Oskamp & Schultz, 1998)

Negara-negara Unieropa mencanangkan kampanye anti rokok dengan slogan; "Feel Free to Say No!" yang diluncurkan bertepatan dengan momen piala dunia 2002 serta didukung sejumlah pemain bola terkenal seperti Luis Figo, Zinadine Zidane, Paolo Maldini,dll. Sementara dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau sedunia (31 Mei 2002), Meksiko mengumumkan akan melarang semua iklan rokok dari radio dan televisi mulai 2003. Secara perlahan-lahan penjualan rokok di toko-toko obat akan dikurangi dan peringatan bahwa bahaya rokok akan diwajibkan untuk dipasang di depan, bukan di belakang seperti sekarang. (Kompas, 2002)

Jurus Kelit Industri Rokok

Bagaimana perokok dan industri rokok dapat terus "hidup" dan berkembang mengambil ruang gerak dan nafas di Indonesia ?

Moral Exclusion

Jika moral berada dalam ruang keadilan, moral exclusion sangat berbeda (kontras), yang merupakan rasionalisasi, jastifikasi kesalahan atau sesuatu yang membahayakan. Dalam konflik lingkungan, moral exclusion sulit untuk dideteksi, hal ini disebabkan juga oleh adanya dukungan konvensi sosial. Analisa gejala moral exclusion dalam konflik lingkungan mengindikasikan bahwa moral exclusion dapat digolongkan dalam tiga bentuk penyangkalan (denial); simptom moral exclusion, yaitu;

1. Outcome Severity (hasil rumit)

a. disbenefit (kerugian berat); pihak tertentu (negara atau perusahaan) menolak penanggulangan masalah tertentu dengan berkelit hal tersebut dapat mendatangkan kerugian besar

b. sains; memanfaatkan sains untuk tujuan tertentu, menjadikan sains sebagai alasan, misalnya perlunya waktu untuk meneliti masalah tertentu.

2. Stakeholder

a. outsider; menempatkan diri pada pihak lawan (contoh; menganggap peraturan sebagai lawan)

b. ekstrimis; pihak yang menetang sesuatu secara radikal

3. Keterlibatan Diri

a. self exclusion; mengelak tanggung jawab personal (contoh; "Bukan hanya saya yang merokok di ruang ini.")

b. Reluctant participation; pihak tertentu menolak berpartisipasi dalam penanggulangan masalah polusi udara namun tetap menggunakan alasan kemanusiaan dalam usahanya (contoh; industri rokok menjadi sponsor even olahraga) (Opotow & Weiss, 2000)

Riset dalam Psikologi Sosial Seputar Perilaku Merokok

Banyak riset perilaku merokok dilakukan dalam psikologi sosial, Surgeon General Report 1964 menyatakan bahwa faktor psikologi merupakan faktor krusial untuk memahami rokok.

Tahapan seseorang menjadi perokok tetap (Laventhal & Cleary;1980, Flay;1993);

1. Persiapan; sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang seperti apa rokok itu.

2. Inisiasi (initiation); reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. (Sayangnya hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok)

3. Menjadi perokok; melibatkan suatu proses "concept formation" , seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya.

4. Perokok tetap; terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.

Faktor Psikologis;

1. Kebiasaan (terlepas dari motif positif atau negatif)

2. Untuk menghasilkan reaksi emosi positif (kenikmatan, dsb)

3. Untuk mengurangi reaksi emosi negatif (cemas, tegang, dsb)

4. Alasan sosial (penerimaan kelompok)

5. Ketergantungan (memenuhi keinginan/ kebutuhan dari dalam diri) (Oskamp & Schultz, 1998)

Proses Biologis

Nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang. (Mutadin, 2002)

Lemahnya kesadaran dan pengetahuan perokok

Kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka. Dengan begitu, mereka juga menyamarkan "kesalahan" dan "penyebaran racun" yang dilakukan.

Industri rokok mempunyai kekuatan finansial sangat besar untuk membuat propaganda, iklan dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa menampilkan orang merokok, kini masyarakat sudah dapat menebak iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.

Ironisnya, iklan rokok berisi pemandangan yang menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, sementara rokok itu sendiri menyebabkan polusi yang merusak keindahan, merusak kesehatan. Industri rokok menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi, sungguh suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk penyangkalan merupakan simptom moral exclusion.

Sementara industri rokok bersembunyi dibalik berbagai slogan "mulia" nya, perokok pun tidak ketinggalan menggunakan strategi penyangkalan serupa. Ruang publik menjadi senjata bagi perokok untuk berkelit, "Tempat umum kok, saya punya hak," dan ungkapan serupa tanpa menyadari bahwa orang lain (bukan perokok) juga mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.

Tempat Merokok = Mencerminkan Pola Perilaku Perokok

Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku perokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, kita dapat mengenali siapakah perokok tersebut dari pola perilakunya dalam merokok.

1. Merokok di ruang publik

- Kelompok homogen (sesama perokok); Umumya masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.

- Kelompok heterogen (merokok ditengah orang lain yang tidak merokok); Tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji, tercela dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar "racun" pada orang lain yang tidak bersalah.

2. Merokok di tempat bersifat pribadi

- kantor atau kamar tidur pribadi; tergolong individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gellisah yang mencekam

- toilet; tergolong orang suka berfantasi. (Mu'tadin,2002)

Perilaku industri rokok dan perokok yang merugikan orang lain seharusnya dapat diminimalisasi seperti di beberapa negara seperti Singapura, Meksiko dan Unieropa, namun agaknya pemerintah masih "setengah hati" dalam menyelamatkan nyawa orang banyak.

Salah satu alasan utama pemerintah tidak melarang keras rokok adalah karena pertimbangan besarnya kontribusi dari pajak industri tersebut. Amerika Serikat (1990) mengumpulkan lebih dari 4 $ milyar dari pajak rokok dari 16 sen pajak dalam tiap pak (20 batang), Perancis (1992) mengumpulkan 2.3$ milyar dari pajak rokok (Oskamp & Schultz,1998)

Indonesia sendiri telah mempunyai peraturan tentang rokok, kini tergantung pada pemerintah untuk disiplin dan konsisten menjalankannya, disamping usaha masyarakat untuk lebih menggaungkan kampanye anti rokok serta sikap asertif (tegas) masyarakat terhadap perokok terutama di ruang publik. Perlu upaya ekstra keras dan strategi yang tepat untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa merokok itu memang hak asasi bagi perokok, namun udara bersih yang tak dicemari asap rokok juga adalah hak asasi manusia (HAM) (Kompas, 2001)

Sumber: http://www.e-psikologi.com/epsi/sosial.asp oleh RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi

IRRATIONAL BELIEF


Nama : Achmad Nursidik
NPM : 13509020
Kelas : 3PA04
Tugas : Psikoterapi

IRRATIONAL BELIEF
Ellis (dalam Kendell, 1990) mengembangkan “ Rational Emotif Therapy” (RET)  yang menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan dasar pasien dan anggapan mereka tentang dunia luar maupun tentang dirinya sendiri (variabel kognitif perantara) disimpulkan dari komonukasi mereka dan dipandang teknik terapi utama yang dipakai untuk meredakan ketegangan dan meningkatkan kemampuan mengatasi perilaku. Rational Emotif Therapy menggunakan pendekatan konseling ABCDE.
A :  Activity event/ peristiwa yang menggerakkan
B : Belief (irrational belief/peran irasional),
C : Konsekuensi
D : Menantang
E : Evaluation.
Konsep utama
      RET dibangun berdasar atas filosofi bahwa ”apa yang menganggu jiwa manusia bukanlah peristiwa-peristiwa, tetapi bagaimana manusia itu mereaksi atau berprasangka terhadap persitiwa-peristiwa tersebut”.
      RET tidak memusatkan perhatian kepada peristiwa-pristiwa masa lalu, tetapi lebih kepada peristiwa yang terjadi saat ini dan bagaimana reaksi terhadap peristiwa tersebut.
      RET juga percaya bahwa setiap manusia mempunyai pilihan, mampu mengontrol ide-idenya, sikap, perasaan, dan tindakan-tindakannya serta mampu menyusun kehidupannya menurut kehendak atau pilihannya sendiri.
      RET didasari asumsi bahwa manusia itu dilahirkan dengan potensi rasional dan juga irasional. Seseorang berperilaku tertentu karena ia percaya harus bertindak dalam cara itu. Sedangkan gangguan emosional terletak pada keyakinan irasional.


Secara umum, teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
A : peristiwa yang menggerakkan, misal : “Saya gagal dalam tes matematika”
B : Hasil evaluasi terhadap peristiwa yang dialami (A).
B1 : pesan irasional : “Saya gagal tes, berarti saya sebagai orang yang mengalami kegagalan total”
B2: pesan rasional : ”Saya gagal tes. Ini tidak memuaskan dan payah, tetapi ini semua harus dihadapi dan saya akan menyiapkan diri lebih baik untuk ujian mendatang”.
C : Representasi dari konsekuensi perasaan yang dihasilkan
B1 : merasa tertekan.
B2 : berbesar hati dan tidak akan menghalangi dalam ujian berikutnya.
D : Hadirnya perdebatan argumen untuk melawan pesan diri yang tidak rasional yang dinyatakan dalam B1. Fungsi konselor adalah membantu untuk mempertanyakan pesan-pesan irasional yang teridentifikasi.
E : Merupakan jawaban-jawaban yang telah dikembangkan berdasar atas pertanyaan-pertanyaan irasional.



Sumber :
Ellis dalam buku Kendell, R. E. (1990). Terapi kognitif untuk depresi dan kecemasan. Alih bahasa : Rusda Koto Sutadi. Semarang : IKIP Semarang Pres